Minggu, 22 Maret 2015

Mantuq



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Makalah
Fiqh adalah ilmu yang membahas tentang hukum islam, jadi orang islam apabila ingin menentukan hukum selain bersumber kepada Al-Quran dan Hadits, juga harus faham akan ilmu fiqih serta ushul fiqh.
Namun yang terjadi pada zaman ini adalah banyak orang yang faham akan ilmu fiqh namun tidak paham dengan ushul fiqh, padahal ushul fiqh itu sendiri adalah dasar atau bahan atau bisa diistilahkan sebagai proses sedangkan fiqih adalah bahan jadinya.
Untuk itulah penulis menulis makalah ushul fiqh ini yang mana di dalam makalah ini akan dibahas kaidah-kaidah ushul fiqh seperti: Mantuq dan Marfum, Amar dan Nahi.
B.     Rumusan Masalah
Dari urain Latar Belakang Masalah diatas dapat kita buat suatu Rumusan Masalah yang mana bertujuan agar pembahasan di dalam makalah ini tidak terlalu jauh melenceng. Adapun Rumusan Masalah Makalah ini adalah :
1.      Apa itu Mantuq?
2.      Apa saja pembagian Mantuq?
3.      Apa itu Marfum?
4.      Apa saja macam-macam dari Marfum itu?
5.      Bagaimana berhujjah dengan marfum
6.      Apa qaidah dari marfum itu?
7.      Apa itu amar
8.      Apa qaidah amar itu?
9.      Bagaimana sighat dari amar itu?
10.  Apa itu Nahi?
11.  Apa qaidah nahi itu?
12.  Bagaimana sighat dari Nahi itu?

BAB II
PEMBAHASAN
MANTUQ DAN MARFUM, AMAR DAN NAHI
1.      Mantuq
A.    Pengertian Mantuq
Mantuq menurut bahasa artinya “yang diucapkan” sedangkan menurut istilah adalah:
المنطق هو مادل عليه اللفلظ في محل النطق                                                              
“Mantuq adalah suatu hukum yang ditujukan oleh lafadz tentang apa yang dibicarakan[1]
Dengan kata lain mantuq adalah “suatu makna yang didapat dari ucapan lafadz itu    sendiri.
Contohnya firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 275:
......وحرم الربو                                                                                                                
Artinya:
.......dan Allah mengharamkan riba.[2]
Lafadz ini jelas menunjukkan keharaman riba, dan yang dibicarakan dalam lafadz itu hanya riba.
B.     Pembagian Mantuq[3]
Mantuq dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a.       Mantuq nash, yaitu lafadz yang tidak mungkin ditakwilkan kepada arti lain selain arti harfiahnya. Seperti: maka berpuasalah berpuasa tiga hari.
b.      Mantuq zhahir, yaitu suatu lafadz yang memungkinkan untuk ditakwilkan kepada arti lain, selain arti harfiah. Seperti: tangan Allah di atas tangan manusia.
          Menurut Ulama Ushul Fiqh selain dari Abu Hanifah membagi Mantuq menjadi 2 bagian yaitu Manthuq sharih dan gairu sharih[4].
a.       Manthuq sharih
Adalah lafadz yang menunjukkan terhadap adanya sebuah hukum dengan menggunakan dilalah at-muthabah, at-tadhammun[5]. Seperti firman Allah dalam surah al-Isra ayat 23:
ولا تقل لهما اف
Artinya :
“Dan janganlah engkau katakan kepada keduanya (ibu bapak) perkataan ah”
b.      Manthuq gairu sharih
Adalah lafadz yang menujukkan adanya sebuah makna dengan menggunakan dilalah at-Iltizam[6]. Dilalah ini oleh para ulama ushul fiqh dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu: Dilalah at-Iqthidha’, dilalah al-Ima’ dan yang ketiga adalah dilalah al-Isyarat. Tiga mempagian ini menurut Imam al-Baidlowi dan Imam al-Ghazali tidak termasuk dari pembagian manthuq akan tetapi itu termasuk dari pembagian mafhum, ini sesuai dengan pendapat mereka yang mengatakan bahwa manthuq ghairu adalah salah satu dari pembagian dari mafhum bukan dari manthuq. Namun yang paling rajah dari pendapat ulama adalah yang mengatakan bahwa manthuq ghairu sharih termasuk kedalam pembagian manthuq.
                               I.            Dilalah al-Iqtidha’
          Pengertian dilalah ini adalah penunjukkan (dilalah) lafadz terhadap sesuatu, dimana pengertian lafadz tersebut tidak logis kecuali dengan adanya sesuatu tersebut. Misalnya,sabda Rasulullah Saw.(رفع عن أمتي الخطا و النسيان وماأ ستكر هوا عليه)[7]
Bukan khata’nya yang dihapus, akan tetapi yang dimaksud ialah dosa yang diperbuatkan karena tidak sadar (khata) itu.
Demikian pula dengan contoh-contoh lain dimana dilalah suatu nash tidak dipahami, kecuali dengan mentakdirkan lafadz lain untuk memahami lafadz tersebut. Ketetapan berdasarkan dilalah al-Iqtidha’ ini meskipun tidak didasarkan atas nash secara ekspilisit tetapi secara logis masuk kedalam penngertiannya, sebagaimana dapat dilihat dari contoh diatas.
Ditinjau dari segi keharusan mentakdirkan sebuah lafadz, menurut Para ulama ushul fiqh ada tiga bentuk[8].
_        Bentuk pertama : Dilalah al-Iqtdha’ yang harus mentakdirkan lafadz yang terbuang demi kebenaran orang yang berbicara.
_        Bentuk kedua : Dilalah al-Iqtidha’ yang harus mentakdirkan lafadz yang tebuang, lantaran suatu nash tidak dapat dipahami secara sah menurut akal, kecuali dengan mentakdirkan lafadz yang terbuang tersebut. Seperti firman Allah Swt[9]
فليدع نادية . lafadz an-Nadi dalam ayat tersebut berarti tempat, yang secara akal sehat sangat mustahil dapat dipanggil. Oleh karena itu yang dimaksud adalah orang-orang yang berada di tempat tersebut. Dengan demikian ayat tersebut mentakdirkan lafadz ahlun yang berarti penduduk. Sehingga berbunyi: فليدع اهل نادية
_        Bentuk ketiga : dilalah al-Iqtidha’ yang mentakdirkan lafadz yang terbuang, lantaran suatu nash tidak dapat dipahami secara sah menurut syara’, kecuali dengan mentakdirkan lafadz yang terbuang tersebut. Seperti firman Allah
فمن كان منكم مريض أو على سفر فعدة من أيام اخر
Dalam ayat tersebut harus mentakdirkan lafadz al-Aftar, karena perintah mengganti puasa bagi orang yang dalam perjalanan tidaklah wajib, kecuali orang tersebut makan dan minum (tidak berpuasa). Dan jika orang tersebut masih tetap berpuasa, maka ia tidak mempunyai kewajiban mengganti puasanya meskipun ia berada dalam perjalanan. Dalil ini sangat jelas secara bahasa dan syara’

                            II.            Dilalah al-Ima’ (at-Taubah)
          Pengertian dilalah ini adalah : penunjukkan (dilalah) lafadz terhadap sebuah hukum yang dimaksud oleh orang yang berbicara, dengan syarat hukum tersebut harus dibarengi dengan sebuah sifat, serta adanya sifat tersebutnya merupakan illat terhadap hukum itu sendiri, karena jika tidak demikian hukum tersebut tidak dapat diterima[10].
Misalnya, firman Allah swt[11]:و السارق و الساقة فا قطعوا أيدهما
  Hukum pemotongan tangan yang terdapat dalam ayat tersebut ditimbulkan karena adanya pencurian, akal disini menerima bahwa perbuatan mencuri adalah merupakan illat dari pemotongan tangan tersebut, karena seandainya sifat yang terdapat dalam ayat ini bukan merupakan illat terhadap adanya pemotongan, maka membarengkan hukum yaitu pemotongan tangan dengan sifat mencuri maka sangat jauh sekali antara keduanya.
                         III.            Dilalah al-Isyarat
          Pengertian dilalah ini adalah : penunjukkan lafadz terhadap sebuah hukum karena adanya sebuah kelaziman, bukan karena tujuan dari orang yang berbicara[12].
Misalnya, firman Allah swt[13]:لاجناح عليكم أن طلقتموا النساء مالم تمسوهن أو تفر ضوا لهن فريضة
Dengan manthuq sharih ayat tersebut menunjukkan bolehnya seorang suami menceraikan isterinya sebelum ia bercampur dengannya, dan sebelum membayar mahar atau mengira-ngiranya pada waktu melangsungnya akad nikah, itu semua dianjurkan tanpa adanya dosa.

2.      Mafhum
A.    Pengertian
Mafhum menurut bahasa artinya “dipahami” sedangkan menurut istilah adalah:
المفهم هو مادل عليه اللفظ لافى محل النطق                                                                             
“Mafhum adalah suatu hal yang ditunjukan oleh lafadz tentang apa yang tidak dibicarakan dalam lafadz itu”.
Jadi mafhum itu adalah suatu makna yang didapat dari ucapan lafadz itu sendiri dengan melalui pemahaman terhadap lafadz tersebut.
Contoh firman Allah dalam surah al-isra ayat 23:
ولا تقل لهما اف                                                                                                  
Artinya :
“Dan janganlah engkau katakan kepada keduanya (ibu bapak) perkataan ah”
            Pada ayat itu dapat dipahami bahwa mengatakan “ah” tidak boleh apalagi memukul, ketidakbolehan memukul kepada kedua orang tua adalah hasil pemafhuman dari ayat tersebut.
B.     Macam-macam mafhum[14]
1.      Mafhum Muwafaqah
Yaitu sesuatu yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang disebutkan dalam lafadz itu. Seperti: memakan harta anak yatim secara aniaya sama dengan membakar, karena keduanya sama melenyapkan.
Mafhum Muwafaqah ini dibagi menjadi 2 macam
a.       Fahwal Khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhum) lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti larangan memukul ibu bapak itu haram hukumnya, sebab mengucapkan “cih” saja (lebih ringan dari memukul) juga diharamkan, apabila memukul kedua orang tua.
b.      Lahnal Khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhum) itu sama hukumnya dengan diucapkan. Seperti membakar harta anak yatim itu hukumnya haram, sebab memakannya juga dihukum haram. Keduanya mempunyai illat yang sama yaitu sama-sama merusak harta anak yatim.
2.      Mafhum Muhkalafah
Yang dimaksud dengan mafhum muhkalafah ialah apabila hukum yang tidak disebut lafadz itu berlawanan dengan apa yang disebut dalam lafadz itu.
Contoh:
جلدة ثمنين فاجلد وهم                                                                                                
Artinya:
Maka deralah mereka sebanyak 80 kali (An-Nur : 4).[15]
Menurut mafhum muhkalafah ini dari ayat ini, mendera lebih dari 80 kali hukumnya haram karena berlawanan dengan ketentuan yang terdapat dalam lafadz nash itu
a.       Macam-macam Mafhum muhkalafah
1.      Mafhum sifat.
Ialah menetapkan lawan hukum bagi maskat ‘anhu melalui sifat yang terdapat mantuq.
Contoh:
ما فمن المؤمنتالمحصنت ينكحح ان طولا منكم يستطع لم ومن المؤمنت فتيتكم من أيمنكم ملكت
Artinya:
“Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup pembelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki”.
Pada ayat ini dikatakan bahwa bagi seorang muslim yang tidak cukup belajanya untuk mengawini wanita mukmin makaia boleh mengawini budak wanita yang mukmin. Berarti menurut mafhumnya tidak boleh mengawini wanita yang bukan mukmin.

 Atau:
فتحرير رقبة مومنة                                                                                                                          
“..... hendaklah memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.” (QS.An-Nisa/4 :92).
Membayar kifarat pembunuhan tersalah dengan memerdekakan budak mukmin, maka kalau dengan hamba sahaya yang tidak mukmin (kafir) hukumnya tidak sah.
2.      Mafhum Ghayah
Ialah berlakunya hukum yang disebutkan sampai batas tertentu, dan berlaku kebalikan bila hukum tersebut terlampaui.
Contoh :
.........غيره, زوجا تنكح حتى بعد من له,تحل فلا طلقها فإن                                                
Artinya:
“kemudian jika si suami mentalaknya ( sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami lain”. (Al-Baqarah : 230)[16]
Menurut ayat ini maka mafhum mukhalafah ialah halal mengawini mantan istri yang sudah ditalak tiga jika mantan istri itu telah dikawini laki-laki lain dan telah dicerai sesudah dikumpulinya.
 Atau makan dan minum pada bulan Ramadhan dibatasi sampai terbit fajar. Mafhumnya adalah kalau melebihi waktu fajar maka makan minum itu dilarang.
3.      Mafhum Syarat
Yaitu berlaku hukum sesuatu dikaitkan dengan syarat, bila syarat tersebut tidak terhadap padanya.
Contoh:
مريا هنيأ فكلوه نفسا منه شىء عن لكم طبن فإن                                                                     
Artinya:
“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (An-Nisa:4).
Menurut manthuq dari ayat ini, seorang suami dibolehkan memakan sebagian mas kawin yang pernah diberukan kepada isterinya dengan syarat bahwa isteri tersebut menyerahkannya dengan suka rela. Mafhum muhkalafanya yaitu suami tidak diperkenankan memakan mas kawin apabila isteri tidak menyerahkan.
4.      Mafhum ‘Adad
Yaitu menetapkan lawan hukum bagi mashut ‘anhu dari hukum manthuq yang dibatasi dengan bilangan yang sudah tertentu.
Contoh:
مسكينا ستين فإطعام يستطع لم فمن                                                                         
Artinya:
“Maka siapa yang tidak puasa maka wajib memberi makan 60 orang miskin” (Al-Mujadilah:4).
Menurut manthuq bahwa kafarat dhizar itu bila tidak dapat memerdekakan budak hendaknya diganti dengan memberi makan 60 orang miskin. Mafhum mukhalafanya ialah tidak boleh memberi makan itu kepada orang miskin kurang dari 60 orang atau bahkan lebih dari 60 orang.
5.      Mafhum Laqab
Yaitu mafhum dari nama yang menyatakan zat, baik nama diri, kata sifat seperti: yang mencari, atau nama jenis seperti: emas dan perak dan sebagainya. Nama yang disebutkan berlaku hukum kebalikannya.
Contoh firman Allah sebagai berikut:
إذقال يوسف لابيه يا أبت إني رأيت أحد عشر كوكبا والشمس والقمر رأيتهم لي ساجدين                    

Artinya:
“ketika yusuf berkata kepada ayahnya: wahai ayahku sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang” (Yusuf:4).
Menurut ayat ini hanya Yusuf saja yang disebutkannya. Mafhum muhkalafanya ialah selain Yusuf tidak dapat dapat dimasukkan ke dalam orang yang melapor kepada ayah Yusuf.
6.      Mafhum Hashar
Yaitu hukum sesuatu yang disertai pembatasan tidak melampaui sesuatu diluar batas tersebut.
Contoh sabda Rasulullah SAW:
Artinya : “Hanyalah hak wala’ itu bagi orang yang memerdekakannya” (HR.Bukhari).
menurut dalil manthuq ini bahwa hak mempusakai harta peninggalan bekas budak yang telah membebaskannya. Menurut mafhum muhkalafah ialah bahwa selain tuan yang telah membebaskannya tidak mempunyai hak untuk mempusakai harta peninggalan bekas budak yang telah dimerdekakan itu.
b.      Berhujjah dengan mafhum
Berhujjah dengan mafhum mukhalafah hukunya ialah mubah. Sedangkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur ulama memperbolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah. Menuru Imam Abu Hanifah bahwa menyebutkan sesuatu sifat belum tentu berarti meniadakan sifat-sifat yang lain, tetapi harus ada dalil lain yang menunjukkan. Kita tidak boleh mengambil hukum kebalikan yang terdapat di dalam nash dengan begitu saja tanpa ada dalil yang menentukannya.
c.       Qaidah Mafhum
Kaidah terkait dengan mantuq dan Mafhum
مقهوم المو افقة حخة                                                                                           
Artinya:
“Mafhum muwafaqah (makna tersirat yang sesuai) dapat dijadikan hukum”.
Maksud kaidah ini adalah bahwa hasil dari mafhum muwafaqah yang tidak bertentangan dengan hukum syariat dapat dijadikan pegangan hukum. Contohnya, keharaman berkata “ah” kepada kedua orang tua. Maka menghardik, menghina,bahkan memukulnya juga diharamkan.


3.      Amar
A.    Pengertian
هُوَ لَفْظٌ يُطْلَبُ بِهِ الأَ عَلىَ مِمَّنْ هُوَ أَدْنَى مِنْهُ فِعْلاً غَيْرَكَفِّ
Artinya :
Suatu lafadh yang digunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya untuk meminta bawahannya mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak[17].
 Atau
 طَلَبُ الْفِعْلِ مِنَ الأَعْلىَؤإِلَىؤالأَدَنَىالأَمْرُ 
Artinya :
Amar adalah tuntunan melakukan perbuatan dari yang lebih tinggi kedudukannya (tingkatannya) kepada yang lebih rendah kedudukannya (tingkatannya)[18]
B.     Sighat Amar dan contohnya
a.       Dengan menggunakan Fi’il Amar,
Contohnya :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَاتُوا الزَّكاَةَ وَارْكَعُوا مَعَ ارَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk”.(QS.Al-Baqarah/2:43)[19].
b.      Dengan fi’il Mudhari’ yang didahului oleh kalimat “lamul amri”
Contohnya :
ولتكن منكم أمة يدعون ألى الخير ويامرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون
“Dan hendaklah diantara kamu yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar...” (QS.Ali Imran/3 :104)
c.       Dengan menggunakan Isim Fi’il Amar
Contoh :
ياأيها الذين أمنوا عليكم أنفسكم لا يضركم من ضل إذا اهتديتم
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu;tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapatkan petunjuk.. (QS.Maidah/5 : 105)
d.      Dengan menggunakan Isim Masdar pengganti fi’il
Contoh :
وبالو الدين إحسانا
“Dan kepada kedua orang tuamu berbuat baiklah” (QS.Al-Baqarah/2 :83)
e.       Dengan menggunakan Kalimat berita (kalam Khabar) bermakna Insya’iyah (kalimat yang menggunakan tuntunan),
Contoh :
والمطلقا ت يتربصن بانفسهن ثلثة قروء
“Perempuan-Perempuan yang telah dicerai itu, hendaklah menunggu tiga kali quru.” (QS.Al-Baqarah/2 :228)
f.       Fi’il madhi atau mudhori’ yang mengandung arti perintah
أمر,فرض,كتب,وجب
Contoh :
ياأيها الذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعاكم تتقون
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana yang telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS.Al-Baqarah/2: 183).
g.      Memberitahukan tentang adanya kewajiban dengan memakai kata ‘ala ( [20](على
Seperti firman Allah Swt:
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا
Artinya : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (QS.Ali-Imran:97).
h.      Jawab syarat
Seperti firman Allah Swt :
فان احصبرتم فما استيسرمن الهدي
Artinya : “Maka jika kamu tekepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit) maka sembelihlah korban yang mudah di dapat(sebagai pengganti wajib haji yang ditinggalkan)”
(Qs.Al-Baqarah : 296).
C.     Kaidah-Kaidah Amar dan Contohnya[21]
a)      الأصل فى الأمر للوجوب
“Pada asalnya perintah itu menunjukkan kepada wajib”
Ini adalah madzab jumhur ulama dan menurut juwaini demikan pula madzab syafi’i
Contohnya:
اسجدوا لأدم فسجدوا إلآ إبليس أبى واستكبر(البقرة:34)
Artinya : “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur
b)      الأصل فى الأمر للندب
“Pada asalnya perintah itu menunjukkan sunat”
Contohnya :
فكا تبو هم إن علمتم فيهم خيرا
Artinya : “Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.(An-Nur:33)
c)      الأصل فى الأمر لأيقتضى التكرار
“Perintah itu pada dasarnya tidak mengehendaki berulang-ulangnya perintah yang dituntut”
Contohnya
وأتموا الحج و العمرة لله
Artinya: “Sempurnakanlah ibadah Hajji dan Umrah karena Allah” (QS.Al-Baqarah:196)
Kewajiban Hajji dan Umrah hanya sekali saja selama hidup, sedangkan yang selanjutnya hanya bersifat Sunat.
d)     الأصل فى الأمر يقتضى التكرار مدة العر مع الا امكان
“Perintah itu pada asalnya mengehendaki pengulangan sepanjang umur selagi masih ada kesanggupan, serta kemungkinan untuk dikerjakan”
Jika illat, sifat dan syarat menghendaki pengulangan, maka hukum amar pun harus berulang-ulang.
Contoh sifat :
الزانية و الزاني فاجلدوا
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah dia”. (QS.An-Nur: 2)[22].
Untuk melaksanakan perintah dera syaratnya harus ada yang berzina dulu, jika perbuatan zina itu dilaksanakannya berulang-ulang, maka kewajiban menderapun menjadi berulang-ulang pula.
e)      الاصل فى الامرلا يقتضى الفور
“Pada asalnya perintah itu tidak menghendaki kesegeraan untuk dilakukan”
Jadi perintah itu boleh ditangguhkan pelaksanaanya selama tidak luput yang diperintahkan itu. Inilah yang shahih menurut ulama Hanafiyah dan dikatakan demikian pula pendapat Syafi’i dan sahabat-sahabatnya.
Contohnya :
Perintah mengqada puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena sakit atau bepergian.
Firman Allah :                                                                                                              
فمن كان منكم مريض أو على سفر فعدة من أيام اخر
Artinya: “Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (QS.Al-Baqarah:184)
f)       الاصل فى امر يقتضى التكرار
“Pada asalnya perintah itu menghendaki kesegeraan untuk dikerjakan”
Contoh 1 :
فا ستبقو الخيرات
Artinya : “Maka berlomba-lombalah kamu sekalian (dalam) membuat kebajikan” (QS. Al-Baqarah : 148)
Contoh 2 :
وسار عوا إلى مغفرة من ربكم
Artinya : “ Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu” (QS. Ali-Imran : 133)
Suruhan diatas mesti dilaksanakan dengan segera dan tidak boleh di tunda-tunda mana kala telah tiba waktu yang ditentukan.

g)      الامر با لشيء أمر بو ساء له
“Perintah untuk mengerjakan sesuatu berarti juga perintah untuk mengerjakan (Washilahnya) = perantara-perantaranya
Contohnya :
Perintah mendirikan shalat berarti juga perintah untuk berwudhu’ sebagai wasilah (jalan kepada) sahnya shalat. Shalat disini adalah hal yang dimaksud mengerjakannya sedangkan wudhu’ adalah wasilahnya. Shalat hukumnya wajib, maka wudhu’ juga hukumnya wajib.
h)      الامر بالشيء نهي عن ضده
“Perintah mengerjakan kepada sesuatu berarti melarang mengerjakan terhadap kebalikkannya”
Ini adalah pendapat jumhur ulama, dalam hal ini baik kebalikan itu satu atau lebih. Yang kebalikkannya satu.
Contohnya :
يا أيها الذين ءامنوا ءامنوا بالله ورسوله
“Hai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah dan Rasulnya” (QS. An-Nisa : 136)[23]
Perintah “tetaplah beriman” mengandung ketentuan larangan kebalikan iman yaitu kufur. Kalau iman itu wajib, kufur itu haram. Yang kebalikkannya lebih dari satu misalnya perintah untuk duduk, ini mengandung larangan berdiri, berbaring, sujud dan sebagainya.
i)        القضاء با مر جديد
“Hukumnya qadha (menggantikan) itu harus dengan perintah baru”
Maksudnya adalah suatu kewajiban yang luput dan tidak dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan baginya, maka mengqadanya di luar waktu bukanlah berdasarkan perintah pertama tetapi dengan perintah baru. Karena itu tidak lazim qadha melainkan dengan adanya perintah baru, demikian pendapat jumhur ulama dan pendapat inilah yang benar.
Contohnya:
Seorang tidak mendirikan shalat dzuhur sehingga habis waktunya. Maka dia tidak lazim mengqadanya berdasarkan perintah “dirikanlah shalat”, tetapi dengan perintah baru.
Alasannya ialah :
1.      Perintah mengerjakan sesuatu, seperti “kerjakanlah pekerjaan itu pada hari Jum’at”, perintah itu tidak mencakup mengerjakannya pada selain hari Jum’at.
2.      Perintah mengerjakan perbuatan pada waktu tertentu, tidak lain adalah karena ada maslahat khusus yang berhubungan dengan waktu itu.
3.      Hadits Rasulullah, artinya : “kami (kaum wanita) diperintahkan mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqada shalat”[24]
j)        الامر بعد النهي يفيد الابا حة
“Perintah sesudah larangan, berarti menunjukkan kepada kebolehan”
Contohnya :
كنت نهيتكم عن زيا ررة القبور فزورها
“Dahulu aku melarang kamu menziarahi kubur, sekarang berziarahlah.” (HR.Muslim)[25]


[1] Yunus Nasril, bahan ajar mata pelajaran fiqh Program keagamaan Madrasah Aliyah Koto Baru Dharmasraya.hal.77
[2] Al-Quran Al-Karim surah Al-Baqarah ayat 275
[3] Yunus Nasril,Op.cit.,hal 78
[4] Abdul Hamid Hakim,Mabaadi’Awwaliya,(Jakarta:Sa’adiyah Putra,1927)hal.15
[5] Ibid.,hal 16
[6] Ibid,.hal 17
[7] Haidts Rasulullah Saw
[8] Abdul Hamid Hakim,Op.cit.,hal 23
[9] Drs. Rosihon,M.Ag, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Quran, hal 234
[10] Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqh Ushul Figh, Cv. Pustaka Setia Bandung, 2006, hal 160
[11] Al-Quran Al-Karim
[12] Drs. Moh. Riva’i, PT. Al-Ma’rif : Bandung.,hal 35
[13] Manna Khalil Al-Qathan, Studi Ilmu Al-Quran, Litera Antar Nusa : Bogor., hal.90
[14].Yunus Nasril.,Opcit.hal.79
[15].Al-Quran Al-Karim
[16].Al-Quran Al-Karim
[17] Drs. H.A., Mu’in Umar, Drs. H. Asymuni A.Rahman, Dr.H Tolchah Mansur, SH, Drs.Kamal Muchtar, Drs.H.Marzuki Rasyid, Drs.Darwan Ushul Fiqh Qaidah-qaidah Istinbath dan Ijtihad cet.II. Jakarta. Hal.25
[18] Yunus Nasril,.Op.cit.Hal.41
[19]Al-Quran Al-Karim
[20].  Drs. H.A., Mu’in Umar, Drs. H. Asymuni A.Rahman, Dr.H Tolchah Mansur, SH, Drs.Kamal Muchtar, Drs.H.Marzuki Rasyid, Drs.Darwan, Op.Cit.27
[21].  Yunus Nasril, Op.Cit.,hal.42
[22].Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,.
[23]. H.Aunur Rafiq El-Mazni,Pengantar Study Al-Quran,. hal.312
[24] Hadits Rasulullah Saw
[25] Hadits Rasulullah Saw, di riwayatkan oleh Muslim.

1 komentar:

  1. What is a casino? | jtmhub.com
    There are slots, table games, and 포천 출장안마 bingo games 안성 출장샵 offered 경상북도 출장안마 by casinos around the 부산광역 출장샵 world, slots 평택 출장안마 are machines in which the player is dealt an exact

    BalasHapus