BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Makalah
Fiqh adalah ilmu yang membahas tentang hukum islam, jadi orang
islam apabila ingin menentukan hukum selain bersumber kepada Al-Quran dan
Hadits, juga harus faham akan ilmu fiqih serta ushul fiqh.
Namun yang terjadi pada zaman ini adalah banyak orang yang faham
akan ilmu fiqh namun tidak paham dengan ushul fiqh, padahal ushul fiqh itu
sendiri adalah dasar atau bahan atau bisa diistilahkan sebagai proses sedangkan
fiqih adalah bahan jadinya.
Untuk itulah penulis menulis makalah ushul fiqh ini yang mana di
dalam makalah ini akan dibahas kaidah-kaidah ushul fiqh seperti: Mantuq dan
Marfum, Amar dan Nahi.
B.
Rumusan
Masalah
Dari urain Latar Belakang Masalah diatas dapat kita buat suatu
Rumusan Masalah yang mana bertujuan agar pembahasan di dalam makalah ini tidak
terlalu jauh melenceng. Adapun Rumusan Masalah Makalah ini adalah :
1.
Apa
itu Mantuq?
2.
Apa
saja pembagian Mantuq?
3.
Apa
itu Marfum?
4.
Apa
saja macam-macam dari Marfum itu?
5.
Bagaimana
berhujjah dengan marfum
6.
Apa
qaidah dari marfum itu?
7.
Apa
itu amar
8.
Apa
qaidah amar itu?
9.
Bagaimana
sighat dari amar itu?
10.
Apa
itu Nahi?
11.
Apa
qaidah nahi itu?
12.
Bagaimana
sighat dari Nahi itu?
BAB
II
PEMBAHASAN
MANTUQ
DAN MARFUM, AMAR DAN NAHI
1.
Mantuq
A.
Pengertian
Mantuq
Mantuq menurut bahasa artinya “yang diucapkan” sedangkan menurut
istilah adalah:
المنطق هو مادل عليه اللفلظ في محل النطق
“Mantuq adalah suatu hukum yang ditujukan oleh lafadz tentang apa
yang dibicarakan[1]”
Dengan kata lain mantuq adalah “suatu makna yang didapat dari
ucapan lafadz itu sendiri.
Contohnya firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 275:
......وحرم الربو
Artinya:
.......dan Allah mengharamkan riba.[2]
Lafadz ini jelas menunjukkan keharaman riba, dan yang dibicarakan
dalam lafadz itu hanya riba.
B.
Pembagian
Mantuq[3]
Mantuq dapat
dibagi menjadi 2 yaitu:
a.
Mantuq
nash, yaitu lafadz yang tidak mungkin ditakwilkan kepada arti lain selain arti
harfiahnya. Seperti: maka berpuasalah berpuasa tiga hari.
b.
Mantuq
zhahir, yaitu suatu lafadz yang memungkinkan untuk ditakwilkan kepada arti
lain, selain arti harfiah. Seperti: tangan Allah di atas tangan manusia.
Menurut Ulama Ushul Fiqh
selain dari Abu Hanifah membagi Mantuq menjadi 2 bagian yaitu Manthuq sharih
dan gairu sharih[4].
a. Manthuq sharih
Adalah lafadz yang menunjukkan terhadap adanya sebuah hukum dengan
menggunakan dilalah at-muthabah, at-tadhammun[5].
Seperti firman Allah dalam surah al-Isra ayat 23:
ولا تقل لهما اف
Artinya :
“Dan janganlah engkau katakan kepada keduanya (ibu bapak) perkataan
ah”
b.
Manthuq gairu sharih
Adalah lafadz yang menujukkan adanya sebuah makna dengan menggunakan
dilalah at-Iltizam[6].
Dilalah ini oleh para ulama ushul fiqh dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu:
Dilalah at-Iqthidha’, dilalah al-Ima’ dan yang ketiga adalah dilalah
al-Isyarat. Tiga mempagian ini menurut Imam al-Baidlowi dan Imam al-Ghazali
tidak termasuk dari pembagian manthuq akan tetapi itu termasuk dari pembagian
mafhum, ini sesuai dengan pendapat mereka yang mengatakan bahwa manthuq ghairu
adalah salah satu dari pembagian dari mafhum bukan dari manthuq. Namun yang
paling rajah dari pendapat ulama adalah yang mengatakan bahwa manthuq ghairu
sharih termasuk kedalam pembagian manthuq.
I.
Dilalah al-Iqtidha’
Pengertian dilalah ini adalah penunjukkan (dilalah)
lafadz terhadap sesuatu, dimana pengertian lafadz tersebut tidak logis kecuali
dengan adanya sesuatu tersebut. Misalnya,sabda Rasulullah Saw.(رفع عن أمتي الخطا و النسيان وماأ ستكر هوا عليه)[7]
Bukan
khata’nya yang dihapus, akan tetapi yang dimaksud ialah dosa yang diperbuatkan
karena tidak sadar (khata) itu.
Demikian
pula dengan contoh-contoh lain dimana dilalah suatu nash tidak dipahami,
kecuali dengan mentakdirkan lafadz lain untuk memahami lafadz tersebut.
Ketetapan berdasarkan dilalah al-Iqtidha’ ini meskipun tidak didasarkan atas
nash secara ekspilisit tetapi secara logis masuk kedalam penngertiannya,
sebagaimana dapat dilihat dari contoh diatas.
Ditinjau
dari segi keharusan mentakdirkan sebuah lafadz, menurut Para ulama ushul fiqh
ada tiga bentuk[8].
_
Bentuk
pertama : Dilalah al-Iqtdha’ yang harus mentakdirkan lafadz yang terbuang demi
kebenaran orang yang berbicara.
_
Bentuk
kedua : Dilalah al-Iqtidha’ yang harus mentakdirkan lafadz yang tebuang,
lantaran suatu nash tidak dapat dipahami secara sah menurut akal, kecuali
dengan mentakdirkan lafadz yang terbuang tersebut. Seperti firman Allah Swt[9]
فليدع
نادية . lafadz an-Nadi dalam ayat tersebut berarti tempat, yang
secara akal sehat sangat mustahil dapat dipanggil. Oleh karena itu yang
dimaksud adalah orang-orang yang berada di tempat tersebut. Dengan demikian
ayat tersebut mentakdirkan lafadz ahlun yang berarti penduduk. Sehingga
berbunyi: فليدع اهل نادية
_
Bentuk
ketiga : dilalah al-Iqtidha’ yang mentakdirkan lafadz yang terbuang, lantaran
suatu nash tidak dapat dipahami secara sah menurut syara’, kecuali dengan
mentakdirkan lafadz yang terbuang tersebut. Seperti firman Allah
فمن كان منكم مريض أو على سفر فعدة من أيام اخر
Dalam
ayat tersebut harus mentakdirkan lafadz al-Aftar, karena perintah mengganti
puasa bagi orang yang dalam perjalanan tidaklah wajib, kecuali orang tersebut
makan dan minum (tidak berpuasa). Dan jika orang tersebut masih tetap berpuasa,
maka ia tidak mempunyai kewajiban mengganti puasanya meskipun ia berada dalam
perjalanan. Dalil ini sangat jelas secara bahasa dan syara’
II.
Dilalah
al-Ima’ (at-Taubah)
Pengertian dilalah ini adalah :
penunjukkan (dilalah) lafadz terhadap sebuah hukum yang dimaksud oleh orang
yang berbicara, dengan syarat hukum tersebut harus dibarengi dengan sebuah
sifat, serta adanya sifat tersebutnya merupakan illat terhadap hukum itu
sendiri, karena jika tidak demikian hukum tersebut tidak dapat diterima[10].
Misalnya,
firman Allah swt[11]:و السارق و الساقة فا قطعوا أيدهما
Hukum
pemotongan tangan yang terdapat dalam ayat tersebut ditimbulkan karena adanya
pencurian, akal disini menerima bahwa perbuatan mencuri adalah merupakan illat
dari pemotongan tangan tersebut, karena seandainya sifat yang terdapat dalam
ayat ini bukan merupakan illat terhadap adanya pemotongan, maka membarengkan
hukum yaitu pemotongan tangan dengan sifat mencuri maka sangat jauh sekali
antara keduanya.
III.
Dilalah
al-Isyarat
Pengertian dilalah ini adalah :
penunjukkan lafadz terhadap sebuah hukum karena adanya sebuah kelaziman, bukan
karena tujuan dari orang yang berbicara[12].
Misalnya,
firman Allah swt[13]:لاجناح عليكم أن طلقتموا النساء مالم تمسوهن أو تفر ضوا لهن فريضة
Dengan
manthuq sharih ayat tersebut menunjukkan bolehnya seorang suami menceraikan
isterinya sebelum ia bercampur dengannya, dan sebelum membayar mahar atau
mengira-ngiranya pada waktu melangsungnya akad nikah, itu semua dianjurkan
tanpa adanya dosa.
2.
Mafhum
A.
Pengertian
Mafhum menurut
bahasa artinya “dipahami” sedangkan menurut istilah adalah:
المفهم هو مادل عليه
اللفظ لافى محل النطق
“Mafhum adalah suatu hal yang ditunjukan oleh
lafadz tentang apa yang tidak dibicarakan dalam lafadz itu”.
Jadi mafhum itu
adalah suatu makna yang didapat dari ucapan lafadz itu sendiri dengan melalui
pemahaman terhadap lafadz tersebut.
Contoh firman Allah dalam surah al-isra ayat 23:
ولا تقل لهما
اف
Artinya :
“Dan janganlah engkau katakan kepada keduanya (ibu bapak) perkataan
ah”
Pada ayat itu
dapat dipahami bahwa mengatakan “ah” tidak boleh apalagi memukul,
ketidakbolehan memukul kepada kedua orang tua adalah hasil pemafhuman dari ayat
tersebut.
B.
Macam-macam
mafhum[14]
1.
Mafhum
Muwafaqah
Yaitu sesuatu
yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang disebutkan dalam lafadz itu.
Seperti: memakan harta anak yatim secara aniaya sama dengan membakar, karena
keduanya sama melenyapkan.
Mafhum
Muwafaqah ini dibagi menjadi 2 macam
a.
Fahwal
Khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhum) lebih utama hukumnya
daripada yang diucapkan. Seperti larangan memukul ibu bapak itu haram hukumnya,
sebab mengucapkan “cih” saja (lebih ringan dari memukul) juga diharamkan,
apabila memukul kedua orang tua.
b.
Lahnal
Khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhum) itu sama hukumnya dengan
diucapkan. Seperti membakar harta anak yatim itu hukumnya haram, sebab
memakannya juga dihukum haram. Keduanya mempunyai illat yang sama yaitu
sama-sama merusak harta anak yatim.
2.
Mafhum
Muhkalafah
Yang
dimaksud dengan mafhum muhkalafah ialah apabila hukum yang tidak disebut lafadz
itu berlawanan dengan apa yang disebut dalam lafadz itu.
Contoh:
جلدة
ثمنين فاجلد وهم
Artinya:
Maka deralah mereka sebanyak 80 kali (An-Nur : 4).[15]
Menurut
mafhum muhkalafah ini dari ayat ini, mendera lebih dari 80 kali hukumnya haram
karena berlawanan dengan ketentuan yang terdapat dalam lafadz nash itu
a.
Macam-macam
Mafhum muhkalafah
1.
Mafhum
sifat.
Ialah
menetapkan lawan hukum bagi maskat ‘anhu melalui sifat yang terdapat mantuq.
Contoh:
ما
فمن المؤمنتالمحصنت ينكحح ان طولا منكم يستطع لم ومن المؤمنت فتيتكم من أيمنكم
ملكت
Artinya:
“Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
pembelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini
wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki”.
Pada
ayat ini dikatakan bahwa bagi seorang muslim yang tidak cukup belajanya untuk
mengawini wanita mukmin makaia boleh mengawini budak wanita yang mukmin.
Berarti menurut mafhumnya tidak boleh mengawini wanita yang bukan mukmin.
Atau:
فتحرير
رقبة مومنة
“..... hendaklah memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.”
(QS.An-Nisa/4 :92).
Membayar
kifarat pembunuhan tersalah dengan memerdekakan budak mukmin, maka kalau dengan
hamba sahaya yang tidak mukmin (kafir) hukumnya tidak sah.
2.
Mafhum
Ghayah
Ialah
berlakunya hukum yang disebutkan sampai batas tertentu, dan berlaku kebalikan
bila hukum tersebut terlampaui.
Contoh
:
.........غيره, زوجا تنكح حتى بعد من له,تحل فلا
طلقها فإن
Artinya:
“kemudian jika si suami mentalaknya ( sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami
lain”. (Al-Baqarah : 230)[16]
Menurut
ayat ini maka mafhum mukhalafah ialah halal mengawini mantan istri yang sudah
ditalak tiga jika mantan istri itu telah dikawini laki-laki lain dan telah
dicerai sesudah dikumpulinya.
Atau makan dan minum pada bulan Ramadhan
dibatasi sampai terbit fajar. Mafhumnya adalah kalau melebihi waktu fajar maka
makan minum itu dilarang.
3.
Mafhum
Syarat
Yaitu
berlaku hukum sesuatu dikaitkan dengan syarat, bila syarat tersebut tidak
terhadap padanya.
Contoh:
مريا
هنيأ فكلوه نفسا منه شىء عن لكم طبن فإن
Artinya:
“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas
kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (An-Nisa:4).
Menurut
manthuq dari ayat ini, seorang suami dibolehkan memakan sebagian mas kawin yang
pernah diberukan kepada isterinya dengan syarat bahwa isteri tersebut
menyerahkannya dengan suka rela. Mafhum muhkalafanya yaitu suami tidak
diperkenankan memakan mas kawin apabila isteri tidak menyerahkan.
4.
Mafhum
‘Adad
Yaitu
menetapkan lawan hukum bagi mashut ‘anhu dari hukum manthuq yang dibatasi
dengan bilangan yang sudah tertentu.
Contoh:
مسكينا
ستين فإطعام يستطع لم فمن
Artinya:
“Maka siapa yang tidak puasa maka wajib memberi makan 60 orang
miskin” (Al-Mujadilah:4).
Menurut
manthuq bahwa kafarat dhizar itu bila tidak dapat memerdekakan budak hendaknya
diganti dengan memberi makan 60 orang miskin. Mafhum mukhalafanya ialah tidak
boleh memberi makan itu kepada orang miskin kurang dari 60 orang atau bahkan
lebih dari 60 orang.
5.
Mafhum
Laqab
Yaitu
mafhum dari nama yang menyatakan zat, baik nama diri, kata sifat seperti: yang
mencari, atau nama jenis seperti: emas dan perak dan sebagainya. Nama yang
disebutkan berlaku hukum kebalikannya.
Contoh
firman Allah sebagai berikut:
إذقال
يوسف لابيه يا أبت إني رأيت أحد عشر كوكبا والشمس والقمر رأيتهم لي ساجدين
Artinya:
“ketika yusuf berkata kepada ayahnya: wahai ayahku sesungguhnya aku
bermimpi melihat sebelas bintang” (Yusuf:4).
Menurut
ayat ini hanya Yusuf saja yang disebutkannya. Mafhum muhkalafanya ialah selain
Yusuf tidak dapat dapat dimasukkan ke dalam orang yang melapor kepada ayah
Yusuf.
6.
Mafhum
Hashar
Yaitu
hukum sesuatu yang disertai pembatasan tidak melampaui sesuatu diluar batas
tersebut.
Contoh
sabda Rasulullah SAW:
Artinya
: “Hanyalah hak wala’ itu bagi orang yang memerdekakannya” (HR.Bukhari).
menurut
dalil manthuq ini bahwa hak mempusakai harta peninggalan bekas budak yang telah
membebaskannya. Menurut mafhum muhkalafah ialah bahwa selain tuan yang telah
membebaskannya tidak mempunyai hak untuk mempusakai harta peninggalan bekas
budak yang telah dimerdekakan itu.
b.
Berhujjah
dengan mafhum
Berhujjah
dengan mafhum mukhalafah hukunya ialah mubah. Sedangkan berhujjah dengan mafhum
mukhalafah diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur ulama memperbolehkan
berhujjah dengan mafhum mukhalafah. Menuru Imam Abu Hanifah bahwa menyebutkan
sesuatu sifat belum tentu berarti meniadakan sifat-sifat yang lain, tetapi
harus ada dalil lain yang menunjukkan. Kita tidak boleh mengambil hukum
kebalikan yang terdapat di dalam nash dengan begitu saja tanpa ada dalil yang
menentukannya.
c.
Qaidah
Mafhum
Kaidah
terkait dengan mantuq dan Mafhum
مقهوم المو افقة حخة
Artinya:
“Mafhum muwafaqah (makna tersirat yang sesuai) dapat dijadikan
hukum”.
Maksud kaidah
ini adalah bahwa hasil dari mafhum muwafaqah yang tidak bertentangan dengan
hukum syariat dapat dijadikan pegangan hukum. Contohnya, keharaman berkata “ah”
kepada kedua orang tua. Maka menghardik, menghina,bahkan memukulnya juga
diharamkan.
3.
Amar
A.
Pengertian
هُوَ لَفْظٌ يُطْلَبُ بِهِ الأَ عَلىَ مِمَّنْ هُوَ أَدْنَى مِنْهُ
فِعْلاً غَيْرَكَفِّ
Artinya :
Suatu lafadh
yang digunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya untuk meminta bawahannya
mengerjakan sesuatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak[17].
Atau
طَلَبُ الْفِعْلِ مِنَ الأَعْلىَؤإِلَىؤالأَدَنَىالأَمْرُ
Artinya :
Amar adalah tuntunan melakukan perbuatan dari yang lebih tinggi
kedudukannya (tingkatannya) kepada yang lebih rendah kedudukannya
(tingkatannya)[18]
B. Sighat Amar dan contohnya
a. Dengan menggunakan Fi’il Amar,
Contohnya :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَاتُوا الزَّكاَةَ وَارْكَعُوا مَعَ ارَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan rukuklah
bersama orang-orang yang rukuk”.(QS.Al-Baqarah/2:43)[19].
b.
Dengan
fi’il Mudhari’ yang didahului oleh kalimat “lamul amri”
Contohnya :
ولتكن منكم أمة
يدعون ألى الخير ويامرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون
“Dan hendaklah diantara kamu yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar...” (QS.Ali Imran/3
:104)
c.
Dengan
menggunakan Isim Fi’il Amar
Contoh :
ياأيها الذين
أمنوا عليكم أنفسكم لا يضركم من ضل إذا اهتديتم
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu;tiadalah orang
yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapatkan
petunjuk.. (QS.Maidah/5 : 105)
d.
Dengan
menggunakan Isim Masdar pengganti fi’il
Contoh
:
وبالو الدين إحسانا
“Dan kepada kedua orang tuamu berbuat baiklah”
(QS.Al-Baqarah/2 :83)
e.
Dengan
menggunakan Kalimat berita (kalam Khabar) bermakna Insya’iyah (kalimat yang
menggunakan tuntunan),
Contoh
:
والمطلقا ت يتربصن بانفسهن ثلثة قروء
“Perempuan-Perempuan yang telah dicerai itu,
hendaklah menunggu tiga kali quru.” (QS.Al-Baqarah/2 :228)
f.
Fi’il
madhi atau mudhori’ yang mengandung arti perintah
أمر,فرض,كتب,وجب
Contoh
:
ياأيها الذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم
لعاكم تتقون
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas
kamu berpuasa, sebagaimana yang telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.” (QS.Al-Baqarah/2: 183).
Seperti
firman Allah Swt:
ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا
Artinya
: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi
orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”.
(QS.Ali-Imran:97).
h.
Jawab
syarat
Seperti
firman Allah Swt :
فان احصبرتم فما استيسرمن الهدي
Artinya
: “Maka jika kamu tekepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit) maka
sembelihlah korban yang mudah di dapat(sebagai pengganti wajib haji yang
ditinggalkan)”
(Qs.Al-Baqarah
: 296).
C.
Kaidah-Kaidah
Amar dan Contohnya[21]
a)
الأصل
فى الأمر للوجوب
“Pada asalnya
perintah itu menunjukkan kepada wajib”
Ini adalah
madzab jumhur ulama dan menurut juwaini demikan pula madzab syafi’i
Contohnya:
اسجدوا لأدم
فسجدوا إلآ إبليس أبى واستكبر(البقرة:34)
Artinya :
“Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan
takabur
b)
الأصل
فى الأمر للندب
“Pada asalnya
perintah itu menunjukkan sunat”
Contohnya :
فكا تبو هم إن
علمتم فيهم خيرا
Artinya :
“Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada
kebaikan pada mereka.(An-Nur:33)
c)
الأصل
فى الأمر لأيقتضى التكرار
“Perintah itu
pada dasarnya tidak mengehendaki berulang-ulangnya perintah yang dituntut”
Contohnya
وأتموا الحج و
العمرة لله
Artinya:
“Sempurnakanlah ibadah Hajji dan Umrah karena Allah” (QS.Al-Baqarah:196)
Kewajiban Hajji
dan Umrah hanya sekali saja selama hidup, sedangkan yang selanjutnya hanya
bersifat Sunat.
d)
الأصل
فى الأمر يقتضى التكرار مدة العر مع الا امكان
“Perintah itu
pada asalnya mengehendaki pengulangan sepanjang umur selagi masih ada
kesanggupan, serta kemungkinan untuk dikerjakan”
Jika illat,
sifat dan syarat menghendaki pengulangan, maka hukum amar pun harus
berulang-ulang.
Contoh sifat :
الزانية و الزاني
فاجلدوا
Artinya :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah dia”.
(QS.An-Nur: 2)[22].
Untuk
melaksanakan perintah dera syaratnya harus ada yang berzina dulu, jika
perbuatan zina itu dilaksanakannya berulang-ulang, maka kewajiban menderapun
menjadi berulang-ulang pula.
e)
الاصل
فى الامرلا يقتضى الفور
“Pada asalnya
perintah itu tidak menghendaki kesegeraan untuk dilakukan”
Jadi perintah
itu boleh ditangguhkan pelaksanaanya selama tidak luput yang diperintahkan itu.
Inilah yang shahih menurut ulama Hanafiyah dan dikatakan demikian pula pendapat
Syafi’i dan sahabat-sahabatnya.
Contohnya :
Perintah
mengqada puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena sakit atau bepergian.
Firman
Allah :
فمن كان منكم مريض أو على سفر فعدة من أيام اخر
Artinya: “Maka
jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain” (QS.Al-Baqarah:184)
f)
الاصل
فى امر يقتضى التكرار
“Pada asalnya
perintah itu menghendaki kesegeraan untuk dikerjakan”
Contoh 1 :
فا ستبقو
الخيرات
Artinya : “Maka
berlomba-lombalah kamu sekalian (dalam) membuat kebajikan” (QS. Al-Baqarah :
148)
Contoh 2 :
وسار عوا إلى
مغفرة من ربكم
Artinya : “ Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu” (QS. Ali-Imran : 133)
Suruhan diatas
mesti dilaksanakan dengan segera dan tidak boleh di tunda-tunda mana kala telah
tiba waktu yang ditentukan.
g)
الامر
با لشيء أمر بو ساء له
“Perintah untuk
mengerjakan sesuatu berarti juga perintah untuk mengerjakan (Washilahnya) =
perantara-perantaranya
Contohnya :
Perintah
mendirikan shalat berarti juga perintah untuk berwudhu’ sebagai wasilah (jalan
kepada) sahnya shalat. Shalat disini adalah hal yang dimaksud mengerjakannya
sedangkan wudhu’ adalah wasilahnya. Shalat hukumnya wajib, maka wudhu’ juga
hukumnya wajib.
h)
الامر
بالشيء نهي عن ضده
“Perintah
mengerjakan kepada sesuatu berarti melarang mengerjakan terhadap kebalikkannya”
Ini adalah
pendapat jumhur ulama, dalam hal ini baik kebalikan itu satu atau lebih. Yang kebalikkannya
satu.
Contohnya :
يا أيها الذين
ءامنوا ءامنوا بالله ورسوله
“Hai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah dan
Rasulnya” (QS. An-Nisa : 136)[23]
Perintah
“tetaplah beriman” mengandung ketentuan larangan kebalikan iman yaitu kufur.
Kalau iman itu wajib, kufur itu haram. Yang kebalikkannya lebih dari satu
misalnya perintah untuk duduk, ini mengandung larangan berdiri, berbaring,
sujud dan sebagainya.
i)
القضاء
با مر جديد
“Hukumnya qadha
(menggantikan) itu harus dengan perintah baru”
Maksudnya adalah
suatu kewajiban yang luput dan tidak dikerjakan pada waktu yang telah
ditentukan baginya, maka mengqadanya di luar waktu bukanlah berdasarkan
perintah pertama tetapi dengan perintah baru. Karena itu tidak lazim qadha
melainkan dengan adanya perintah baru, demikian pendapat jumhur ulama dan
pendapat inilah yang benar.
Contohnya:
Seorang tidak
mendirikan shalat dzuhur sehingga habis waktunya. Maka dia tidak lazim
mengqadanya berdasarkan perintah “dirikanlah shalat”, tetapi dengan perintah
baru.
Alasannya ialah
:
1.
Perintah
mengerjakan sesuatu, seperti “kerjakanlah pekerjaan itu pada hari Jum’at”,
perintah itu tidak mencakup mengerjakannya pada selain hari Jum’at.
2.
Perintah
mengerjakan perbuatan pada waktu tertentu, tidak lain adalah karena ada
maslahat khusus yang berhubungan dengan waktu itu.
3.
Hadits
Rasulullah, artinya : “kami (kaum wanita) diperintahkan mengqadha puasa dan
tidak diperintahkan mengqada shalat”[24]
j)
الامر بعد النهي يفيد الابا حة
“Perintah
sesudah larangan, berarti menunjukkan kepada kebolehan”
Contohnya :
كنت نهيتكم عن
زيا ررة القبور فزورها
“Dahulu aku melarang kamu menziarahi kubur, sekarang
berziarahlah.” (HR.Muslim)[25]
[1] Yunus Nasril, bahan ajar mata pelajaran fiqh Program keagamaan
Madrasah Aliyah Koto Baru Dharmasraya.hal.77
[2] Al-Quran Al-Karim surah Al-Baqarah ayat 275
[3] Yunus Nasril,Op.cit.,hal 78
[4] Abdul Hamid Hakim,Mabaadi’Awwaliya,(Jakarta:Sa’adiyah
Putra,1927)hal.15
[5] Ibid.,hal 16
[6] Ibid,.hal 17
[7] Haidts Rasulullah Saw
[8] Abdul Hamid Hakim,Op.cit.,hal 23
[9] Drs. Rosihon,M.Ag, Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Quran, hal 234
[10] Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqh Ushul Figh, Cv. Pustaka Setia
Bandung, 2006, hal 160
[11] Al-Quran Al-Karim
[12] Drs. Moh. Riva’i, PT. Al-Ma’rif : Bandung.,hal 35
[13] Manna Khalil Al-Qathan, Studi Ilmu Al-Quran, Litera Antar Nusa :
Bogor., hal.90
[17] Drs. H.A., Mu’in Umar, Drs. H. Asymuni A.Rahman, Dr.H Tolchah Mansur,
SH, Drs.Kamal Muchtar, Drs.H.Marzuki Rasyid, Drs.Darwan Ushul Fiqh
Qaidah-qaidah Istinbath dan Ijtihad cet.II. Jakarta. Hal.25
[18] Yunus Nasril,.Op.cit.Hal.41
[20]. Drs.
H.A., Mu’in Umar, Drs. H. Asymuni A.Rahman, Dr.H Tolchah Mansur, SH, Drs.Kamal
Muchtar, Drs.H.Marzuki Rasyid, Drs.Darwan, Op.Cit.27
[24] Hadits Rasulullah Saw
[25] Hadits Rasulullah Saw, di riwayatkan oleh Muslim.